Jam dua belas malam, dapur kosan sepi. Sisa nasi di rice cooker keras kayak beton. Di atas kompor, ada wajan gosong karena tadi sore Galuh coba bikin telur dadar tapi lupa, keasikan mikir masa depan. Telurnya ancur, rencananya gagal, dan aromanya masih nempel di tembok.
Galuh, 23 tahun, anak kos semester akhir yang sekarang lebih sering buka rekening daripada buka buku. Bukan karena dia rajin ngecek saldo, tapi karena saldo-nya segitu-segitu aja. Kadang malah hilang sendiri karena potongan otomatis yang entah siapa izinin.
Malam itu dia duduk di depan kipas angin rusak, dengan kepala penuh tanya. Skripsi belum kelar. Duit ngepas. Teman serumah udah tidur. Pacar? Dulu pernah ada, tapi sekarang cuma tinggal nama di folder foto yang belum dia hapus.
Dan kayak malam-malam sebelumnya, Galuh buka HP. Nggak untuk nyari motivasi. Nggak juga buat nonton konten self love. Tapi buat cari link alternatif yang bertebaran dimana-mana: jadwal188.
Dulu dia daftar situs itu iseng, gara-gara liat postingan orang yang katanya menang banyak. Tapi sekarang, itu bukan soal menang atau kalah. Itu soal punya tempat buat mengalihkan kepala dari semua yang gak bisa dia kontrol. Hidup terlalu sering kayak game yang stuck di loading screen. Tapi di jadwal188, setidaknya, gulungan itu terus bergerak.
Dia pilih game yang warnanya cerah. Suaranya lembut. Cuma ada tombol “Spin” yang menunggu ditekan. Dan Galuh tekan. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Tidak ada scatter. Tidak ada petir. Tapi ada sensasi aneh, kayak suara halus di kepala yang bilang, “Tenang, masih ada.”
Dan akhirnya, di spin ke-9 gacor, scatter muncul. Tiga simbol. Free spin aktif.
Galuh gak banyak berharap. Tapi pelan-pelan, angka di layar bertambah. Kemenangan kecil. Tapi cukup buat beli makan enak besok pagi. Mungkin ayam geprek. Mungkin teh manis dua gelas. Mewah, dibanding mie tanpa kuah yang tadi gagal dia masak.
Dan di titik itu, dia sadar: jadwal188 bukan pelarian, tapi pelampung. Di saat hidupnya tenggelam dalam deadline dan tekanan yang gak kelihatan, spin kecil itu jadi semacam perlawanan halus. Bukan buat kabur. Tapi buat bilang: “Gue belum nyerah.”
Wajan gosong tetap ada. Skripsi belum juga selesai. Tapi malam itu, hati Galuh gak se-lemas biasanya. Dia punya sedikit rasa lega. Dan buat anak kos yang hidupnya penuh ‘nanti’, ‘kalau sempat’, dan ‘asal cukup’, rasa lega itu lebih berharga dari apa pun.
Tinggalkan Balasan